Aulia Advertising Biro Iklan Telp 021 93476893, 0813 8468 1151

Selasa, 30 Juli 2013

Baca dan Amalkanlah Selalu Isi al-Quran

Baca dan Amalkanlah Selalu Isi al-Quran

 

Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Quran dan mengajarkannya kepada orang lain (HR al-Bukhari).

Sejatinya setiap Muslim adalah pengemban al-Quran. Mengemban al-Quran sama dengan mengemban dakwah. Sebab, al-Quran turun kepada Baginda Nabi saw. memang untuk didakwahkan. Allah SWT. berfirman:

نَزَلَ بِهِ ٱلرُّوحُ ٱلْأَمِينُ ﴿١٩٣﴾ عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ ٱلْمُنذِرِينَ ﴿١٩٤﴾
Al-Quran itu dibawa turun oleh Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan (TQS asy-Syu’ara [26]:193-194).

Karena itu, sudah selayaknya setiap Muslim senantiasa berinteraksi dengan al-Quran, ‘bersahabat’ dengan al-Quran, bahkan selalu merasa sangat bergantung pada al-Quran. Sebagaimana seorang prajurit di medang perang sangat bergantung pada senjatanya, demikian pula seharusnya pengemban dakwah; selalu bergantung pada al-Quran. Apa jadinya prajurit berperang tanpa senjata? Apa jadinya pengemban dakwah ‘berlaga’ di medan dakwah tanpa al-Quran di hati dan pikirannya?
Banyak sekali hadis Nabi saw. yang menekankan tentang perlunya setiap Muslim, apalagi pengemban dakwah, untuk selalu membaca, mengkaji, memahami, menghapal dan mengamalkan al-Quran. Bahkan sering Baginda Nabi saw. mengutamakan sebagian Sahabat atas Sahabat lainnya karena keunggulan sebagian mereka atas sebagian yang lain dalam hal penguasaan dan pengamalan mereka terhadap al-Quran.
Dalam sejarah, ketika Nabi saw. hendak mengirim seorang utusan ke suatu wilayah, misalnya, beliau biasanya memilih Sahabat yang paling banyak hapalan al-Qurannya. Ketika hendak mengubur para syuhada Perang Uhud, Nabi saw. pun memerintahkan untuk mendahulukan Sahabat yang paling banyak hapalannya. Begitu pula dalam hal kepemimpinan shalat berjamaah. Nabi saw. bersabda:

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ
Hendaklah yang memimpin suatu kaum adalah orang seorang yang paling banyak membaca/menghapal/mengamalkan Kitabullah (HR Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibn Majah).

*****
Rasul saw. bersabda:

إِنَّ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ
Sesungguhnya sebaik-baik ucapakan adalah Kitabullah… (HR Ahmad).

Karena itu, wajar jika membaca, mengkaji, menghapal dan mengamalkan al-Quran merupakan ibadah yang paling utama. Dalam hal ini, Khabbab bin al-Art, seorang Sahabat Nabi saw., pernah berkata kepada seseorang, “Ketahuilah sesungguhnya tidak ada cara yang lebih mudah untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan sesuatu yang Dia cintai melebihi firman-firman-Nya (yakni al-Quran).”
Aktivitas membaca, mengkaji, menghapal dan mengamalkan al-Quran sesungguhnya juga merupakan tanda bukti cinta seorang Muslim kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, hendaknya ia membaca Al-Quran.” (HR as-Suyuthi).
Abdullah bin Mas’ud, yang amat gemar membaca al-Quran, juga pernah berkata, “Siapa saja yang mencintai al-Quran, berarti ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Dengan kata lain, kecintaan pada al-Quran merupakan bukti atas kecintaan kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula sebaliknya.

*****
Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Utsman bin Affan ra.:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Quran dan mengajarkannya kepada orang lain (HR al-Bukhari).

Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam kitabnya, Fadhâ’il al-Qur’ân (hlm. 126-127), “Maksud dari sabda Rasulullah saw., ‘Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Quran dan mengajarkan kepada orang lain,’ adalah bahwa mereka itu orang-orang Mukmin yang selalu mengikuti dan meneladani para rasul. Mereka telah menyempurnakan diri sendiri dan menyempurnakan orang lain.”
Terkait dengan hadis ini, Imam Abu Abdurrahman as-Sulami tak pernah berhenti mengajarkan al-Quran selama empat puluh tahun di Masjid Agung Kufah karena ia begitu memahami makna hadis ini.
Pada kesempatan lain, Rasulullah saw. pernah bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra.:

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ تَعَالَى يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah Allah, membaca kitab Allah dan mempelajarinya, melainkan akan diturunkan kepada mereka ketenangan; mereka akan diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh malaikat dan akan disebut-sebut Allah di hadapan orang-orang yang ada di sisi-Nya (para malaikat) (HR Abu Dawud, Ahmad dan ad-Darimi).

Abu Umamah ra. juga pernah mendengar Rasulullah saw., bersabda:

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي شَافِعًا ِلأَصْحَابِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Bacalah oleh kamu al-Quran, sesungguhnya (al-Quran) itu datang pada Hari Kiamat menjadi syafaat bagi pembacanya (HR Muslim).

Dengan semua keutamaan itu, wajarlah jika para Sahabat berlomba-lomba membaca, mempelajari dan mengamalkan kandungan al-Quran. Dalam hal membaca, misalnya, ada yang mengkhatamkan al-Quran dalam sehari semalam, bahkan ada yang khatam dua kali dalam sehari semalam. Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah saw. menyuruh Abdullah bin Umar agar mengkhatamkan al-Quran seminggu sekali. Begitu pula para Sahabat seperti Usman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab; telah menjadi wiridnya untuk mengkhatamkan al-Quran pada setiap hari Jumat. Namun demikian, paling tidak, hendaknya setiap Muslim bisa mengkhatamkan al-Quran sebulan sekali. (HR Ahmad).
Itulah standar yang diberikan oleh Rasulullah saw. dalam membaca al-Quran. Bagaimana dengan kita? Mudah-mudah kita mengamalkan standar yang paling minimal dalam hal mengkhatamkan al-Quran: sebulan sekali. Jika saat ini mungkin terasa berat dan sulit sekali, terutama karena faktor kemalasan, hendaklah kita segera sadar, bahwa hati kita mungkin sedang dipenuhi dengan kotoran. Sebab, sebagaimana kata Utsman bin Affan ra. “Jika hatimu bersih, niscaya ia tidak akan pernah kenyang dari firman-firman Tuhannya (al-Quran).”
Perkataan Utsman ini bermakna, bahwa kecintaan dan interaksi kita dengan al-Quran merupakan ukuran kebersihan hati kita. Jika suatu ketika kita merasa berat untuk membaca al-Quran, sangat boleh jadi itu adalah pertanda bahwa hati kita kotor. Untuk membersihkannya, paksakanlah untuk membaca al-Quran, insya Allah ayat-ayat al-Quran yang kita baca pun akan membersihkan kotoran-kotoran tersebut.
Wa mâ tawfîqî illâ billâh.

Baca dan Amalkanlah Selalu Isi al-Quran

Baca dan Amalkanlah Selalu Isi al-Quran

 

Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Quran dan mengajarkannya kepada orang lain (HR al-Bukhari).

Sejatinya setiap Muslim adalah pengemban al-Quran. Mengemban al-Quran sama dengan mengemban dakwah. Sebab, al-Quran turun kepada Baginda Nabi saw. memang untuk didakwahkan. Allah SWT. berfirman:

نَزَلَ بِهِ ٱلرُّوحُ ٱلْأَمِينُ ﴿١٩٣﴾ عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ ٱلْمُنذِرِينَ ﴿١٩٤﴾
Al-Quran itu dibawa turun oleh Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan (TQS asy-Syu’ara [26]:193-194).

Karena itu, sudah selayaknya setiap Muslim senantiasa berinteraksi dengan al-Quran, ‘bersahabat’ dengan al-Quran, bahkan selalu merasa sangat bergantung pada al-Quran. Sebagaimana seorang prajurit di medang perang sangat bergantung pada senjatanya, demikian pula seharusnya pengemban dakwah; selalu bergantung pada al-Quran. Apa jadinya prajurit berperang tanpa senjata? Apa jadinya pengemban dakwah ‘berlaga’ di medan dakwah tanpa al-Quran di hati dan pikirannya?
Banyak sekali hadis Nabi saw. yang menekankan tentang perlunya setiap Muslim, apalagi pengemban dakwah, untuk selalu membaca, mengkaji, memahami, menghapal dan mengamalkan al-Quran. Bahkan sering Baginda Nabi saw. mengutamakan sebagian Sahabat atas Sahabat lainnya karena keunggulan sebagian mereka atas sebagian yang lain dalam hal penguasaan dan pengamalan mereka terhadap al-Quran.
Dalam sejarah, ketika Nabi saw. hendak mengirim seorang utusan ke suatu wilayah, misalnya, beliau biasanya memilih Sahabat yang paling banyak hapalan al-Qurannya. Ketika hendak mengubur para syuhada Perang Uhud, Nabi saw. pun memerintahkan untuk mendahulukan Sahabat yang paling banyak hapalannya. Begitu pula dalam hal kepemimpinan shalat berjamaah. Nabi saw. bersabda:

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ
Hendaklah yang memimpin suatu kaum adalah orang seorang yang paling banyak membaca/menghapal/mengamalkan Kitabullah (HR Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibn Majah).

*****
Rasul saw. bersabda:

إِنَّ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ
Sesungguhnya sebaik-baik ucapakan adalah Kitabullah… (HR Ahmad).

Karena itu, wajar jika membaca, mengkaji, menghapal dan mengamalkan al-Quran merupakan ibadah yang paling utama. Dalam hal ini, Khabbab bin al-Art, seorang Sahabat Nabi saw., pernah berkata kepada seseorang, “Ketahuilah sesungguhnya tidak ada cara yang lebih mudah untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan sesuatu yang Dia cintai melebihi firman-firman-Nya (yakni al-Quran).”
Aktivitas membaca, mengkaji, menghapal dan mengamalkan al-Quran sesungguhnya juga merupakan tanda bukti cinta seorang Muslim kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, hendaknya ia membaca Al-Quran.” (HR as-Suyuthi).
Abdullah bin Mas’ud, yang amat gemar membaca al-Quran, juga pernah berkata, “Siapa saja yang mencintai al-Quran, berarti ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Dengan kata lain, kecintaan pada al-Quran merupakan bukti atas kecintaan kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula sebaliknya.

*****
Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Utsman bin Affan ra.:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Quran dan mengajarkannya kepada orang lain (HR al-Bukhari).

Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam kitabnya, Fadhâ’il al-Qur’ân (hlm. 126-127), “Maksud dari sabda Rasulullah saw., ‘Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Quran dan mengajarkan kepada orang lain,’ adalah bahwa mereka itu orang-orang Mukmin yang selalu mengikuti dan meneladani para rasul. Mereka telah menyempurnakan diri sendiri dan menyempurnakan orang lain.”
Terkait dengan hadis ini, Imam Abu Abdurrahman as-Sulami tak pernah berhenti mengajarkan al-Quran selama empat puluh tahun di Masjid Agung Kufah karena ia begitu memahami makna hadis ini.
Pada kesempatan lain, Rasulullah saw. pernah bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra.:

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ تَعَالَى يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah Allah, membaca kitab Allah dan mempelajarinya, melainkan akan diturunkan kepada mereka ketenangan; mereka akan diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh malaikat dan akan disebut-sebut Allah di hadapan orang-orang yang ada di sisi-Nya (para malaikat) (HR Abu Dawud, Ahmad dan ad-Darimi).

Abu Umamah ra. juga pernah mendengar Rasulullah saw., bersabda:

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي شَافِعًا ِلأَصْحَابِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Bacalah oleh kamu al-Quran, sesungguhnya (al-Quran) itu datang pada Hari Kiamat menjadi syafaat bagi pembacanya (HR Muslim).

Dengan semua keutamaan itu, wajarlah jika para Sahabat berlomba-lomba membaca, mempelajari dan mengamalkan kandungan al-Quran. Dalam hal membaca, misalnya, ada yang mengkhatamkan al-Quran dalam sehari semalam, bahkan ada yang khatam dua kali dalam sehari semalam. Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah saw. menyuruh Abdullah bin Umar agar mengkhatamkan al-Quran seminggu sekali. Begitu pula para Sahabat seperti Usman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab; telah menjadi wiridnya untuk mengkhatamkan al-Quran pada setiap hari Jumat. Namun demikian, paling tidak, hendaknya setiap Muslim bisa mengkhatamkan al-Quran sebulan sekali. (HR Ahmad).
Itulah standar yang diberikan oleh Rasulullah saw. dalam membaca al-Quran. Bagaimana dengan kita? Mudah-mudah kita mengamalkan standar yang paling minimal dalam hal mengkhatamkan al-Quran: sebulan sekali. Jika saat ini mungkin terasa berat dan sulit sekali, terutama karena faktor kemalasan, hendaklah kita segera sadar, bahwa hati kita mungkin sedang dipenuhi dengan kotoran. Sebab, sebagaimana kata Utsman bin Affan ra. “Jika hatimu bersih, niscaya ia tidak akan pernah kenyang dari firman-firman Tuhannya (al-Quran).”
Perkataan Utsman ini bermakna, bahwa kecintaan dan interaksi kita dengan al-Quran merupakan ukuran kebersihan hati kita. Jika suatu ketika kita merasa berat untuk membaca al-Quran, sangat boleh jadi itu adalah pertanda bahwa hati kita kotor. Untuk membersihkannya, paksakanlah untuk membaca al-Quran, insya Allah ayat-ayat al-Quran yang kita baca pun akan membersihkan kotoran-kotoran tersebut.
Wa mâ tawfîqî illâ billâh.

Rabu, 03 Juli 2013

Pertayaan tentang: Hukum Bekerja dengan Penguasa sebagai Polisi dan Lainnya


Hukum Bekerja dengan Penguasa sebagai Polisi dan Lainnya
 Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Pertama, apakah semua orang yang berafiliasi kepada dinas-dinas Otoritas itu berdosa, yakni tidak boleh, termasuk yang menjadi polisi lalu lintas.
Kedua, apa hukum orang yang bekerja pada Otoritas (di kantor-kantor Otoritas) sebagai tukang, seperti tukang bangunan, membersihkan lantai, dan sebagainya …
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
 Jawab:
Wa ‘alaikum as-salam wa rahmatullah wa barakatuhu.
1. Berkaitan dengan masalah bekerja sebagai polisi pada Otoritas …
-                      Abu Ya’la telah mengeluarkan di Musnad-nya, dan Ibn Hibban di Shahîh-nya, dan lafazh menurut Abu Ya’la: dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, keduanya berkata: Rasulullah saw bersabda:
«لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ سُفَهَاءُ يُقَدِّمُونَ شِرَارَ النَّاسِ، وَيَظْهَرُونَ بِخِيَارِهِمْ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا، فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ، فَلَا يَكُونَنَّ عَرِيفًا وَلَا شُرْطِيًّا وَلَا جَابِيًا وَلَا خَازِنًا»
Sungguh akan datang pada manusia zaman-zaman di mana para pemimpin bodoh (umarâ’ sufaha’) memerintah di tengah kalian. Mereka lebih mengedepankan orang-orang jahat dan memunggungi orang-orang baik mereka. Mereka mengakhirkan shalat dari waktu-waktunya. Maka siapa saja dari kalian yang mendapati hal itu, janganlah dia menjadi penasihat, polisi, pemungut harta, dan penyimpan harta
 Hadits ini, Rasul saw melarang empat posisi itu di bawah pemerintahan para pemimpin bodoh (umarâ’ sufahâ’) secara mutlak.
 -                      Akan tetapi ath-Thabarani telah mengeluarkan di Mu’jam ash-Shaghîr dan Mu’jam al-Awsath dari Abu Hurairah berikut ini:
«فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ ذَلِكَ الزَّمَانَ فَلَا يَكُونَنَّ لَهُمْ جَابِيًا، وَلَا عَرِيفًا، وَلَا شُرْطِيًّا»
Maka siapa saja dari kalian yang mendapati zaman itu, janganlah dia menjadi untuk mereka sebagai pemungut harta, jangan jadi penasihat, jangan pula jadi polisi.
 Jadi Rasulullah bersabda falâ yakunanna lahum –jangan menjadi untuk mereka …-. Artinya, larangan tersebut dibatasi (muqayyad) sebab huruf al-lâm adalah untuk menunjukkan kekhususan (li al-ikhtishâsh). Dan ini berarti bahwa larangan di dalam hadits kedua itu berkaitan dengan bekerja untuk para penguasa itu semisal penjaga khusus untuk mereka, direktorat-direktorat keamanan yang khusus untuk melindungi penguasa. Demikian juga penyimpan harta mereka dan semacam itu, dalam bentuk direktorat-direktorat keamanan yang khusus dengan para penguasa itu …
Dan karena kaedah ushul menyatakan untuk membawa nas mutlak kepada nas muqayyad, maka larangan tersebut berkaitan dengan bekerja di dinas polisi khusus yang menjaga para penguasa dan keamanan mereka … seperti pengawal pribadi kepala Otoritas dan para pembatunya, penyimpan harta mereka, polisi keamanan negara dan semacamnya.
Sedangkan dinas-dinas polisi biasa lainnya, maka boleh. Dan tentu saja kebolehan itu bukan berarti (boleh) menzalimi manusia atau memakan hak-hak mereka, akan tetapi mencari kebenaran dalam bekerja. Dan ini bukan hanya di dinas polisi akan tetapi berlaku pada semua direktorat … Karena itu, menjadi polisi lalu lintas dan semisalnya adalah boleh.
2. Sedangkan pekerjan-pekerjaan lainnya seperti menjadi pekerja pada mereka dalam pembangunan, kebersihan lantai, dan sebagainya, maka hukumnya boleh. Sebab, akad ijarah boleh dilakukan dengan muslim dan non muslim dalam pekerjaan-pekerjaan yang mubah kecuali dalam kondisi perang riil. Untuk kondisi itu ada hukum-hukum syara’nya secara khusus. Ibn Majah telah mengeluarkan dari Ibn Abbas ia berkata:
«أَصَابَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَصَاصَةٌ فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًّا فَخَرَجَ يَلْتَمِسُ عَمَلًا يُصِيبُ فِيهِ شَيْئًا لِيُقِيتَ بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَى بُسْتَانًا لِرَجُلٍ مِنْ الْيَهُودِ فَاسْتَقَى لَهُ سَبْعَةَ عَشَرَ دَلْوًا كُلُّ دَلْوٍ بِتَمْرَةٍ فَخَيَّرَهُ الْيَهُودِيُّ مِنْ تَمْرِهِ سَبْعَ عَشَرَةَ عَجْوَةً فَجَاءَ بِهَا إِلَى نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
Kesusahan menimpa Nabi saw lalu hal itu sampai kepada Ali, maka ia pun keluar mencari pekerjaan agar bisa mendapatkan sesuatu untuk makan Rasulullah. Ali mendatangi satu kebun milik seorang Yahudi dan ia bekerja mengairi kebun itu sebanyak 17 timba dengan imbalan satu butir kurma tiap timba, lalu orang Yahudi itu memilihkan 17 butir kurma Ajwa dan Ali bawa kurma itu kepada Rasululla saw

AT-Tirmidzi juga mengeluarkan yang semisalnya. Ini adalah dalil bolehnya ijarah (kontrak kerja dalam pekerjaan-pekerjaan mubah dengan muslim maupun non muslim. Selama ijarah itu boleh dilakukan dengan non muslim, maka ijarah (bekerja) kepada Otoritas (penguasa) dalam pekerjaan-pekerjaan mubah hukumnya juga mubah.

Jawab Soal: Seputar Jual Beli Dengan Angsuran Dengan Adanya Klausul Penalti


Pertanyaan: 
 Seputar Jual Beli Dengan Angsuran Dengan Adanya Klausul Penalti
Apakah akad jual beli dalam kondisi harga barang ditetapkan dengan tempo dengan angsuran bulanan disertai klausul syarat penalti di mana nilai angsuran dinaikkan pada kondisi pembeli tidak mampu atau terlambat membayar angsuran pada waktunya, apakah jual beli tersebut syar’i?
 Jawab:
بسم الله الرحمن الرحيم
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Jual beli dengan harga segera (kontan) terakadkan. Demikian juga jual beli dengan harga tempo yaitu dengan angsuran juga terakadkan. Akan tetapi, tidak boleh harga dinaikkan disebabkan ketidakmampuan pembeli membayar angsuran tepat waktu. Akan tetapi jika tidak bayar itu terjadi dari orang kaya yang mengulur-ulur pembayaran maka terhadapnya dijatuhkan sanksi dari negara, yakni terhadapnya diajukan dakwaan mengulur-ngulur pembayaran. Hal itu berdasarkan sabda Rasul saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Amru bin asy-Syarid dari bapaknya dari Rasulullah saw beliau bersabda:
«لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ، وَعُقُوبَتَهُ»
Mengulur-ulur waktu pembayaran oleh orang kaya yang mampu membayar menghalalkan kehormatannya dan sanksinya.

Layyu yakni mengulur-ulur, dan al-wâjidu yakni orang kaya yang mampu membayar, dan yuhillu ‘irdhahu yakni halal dikatakan ia mengulur-ulur dan itu dikatakan dengan keras, sementara ‘uqûbatahu maknanya jelas (yakni halal dijatuhkan sanksi terhadapnya – pent) …
Jika tidak bayar itu disebabkan kesulitan, maka dia diberi tangguh hingga mempunyai kelapangan. Allah SWT berfirman:
﴿ وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴾
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (TQS al-Baqarah [2]: 280)

Atas dasar itu maka jika terakadkan jual beli kontan atau dengan angsuran, maka harga telah jadi mengikat kedua pihak. Tidak boleh dinaikkan harganya dikarenakan ketidakmampuan membayar. Jika tidak maka itu adalah riba. Jenis riba tersebut dahulu tersebar luas pada masa jahiliyah. Diriwayatkan dari asy-Syafi’iy ia berkata:
وَكَانَ مِنْ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَكُونَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الدَّيْنُ فَيَحِلُّ الدَّيْنُ، فَيَقُولُ لَهُ صَاحِبُ الدَّيْنِ: تَقْضِي أَوْ تُرْبِي، فَإِنْ أَخَّرَهُ زَادَ عَلَيْهِ وَأَخَّرَهُ
Termasuk riba jahiliyah adalah seorang laki-laki memiliki utang kepada orang lain lalu utang itu jatuh tempo, lalu pemilik utang (kreditor) berkata: engkau bayar atau engkau tambah, maka jika ia menunda (mengakhirkan), utangnya dinaikkan dan diakhirkan (ditunda jatuh temponya)
Wallahu a’lam.